Behind The Scene : Kenapa saya ambil S1 lagi? Bukan S2.
Banyak yang berkata, Gila ini orang, buang-buang duit, umur, serakah gelar kali!!! Sumpah, saya awalnya ingin keahlian yang lainya ngikut hehehehe
Cerita berawal saat cita-cita masa SMP. Seorang anak pasti mengidolakan orang tuanya. Orang tua saya adalah Electrical & Instruments Engineer di salah satu perusahaan besar Surabaya saat itu. Saya berkata, “ Yah, saya ingin jadi seperti ayah.” Hehehe tapi lama kelamaan masuk SMA cita-cita berubah jadi Saya ingin masuk Pertambangan/perminyakan biar bisa dapat duit banyak, tapi karena pertambangan hanya di ITB ambil tekfis atau instrument dlu lah…. J
Setelah UNAS dan mulai ujian masuk, SPMB pertama bagi saya. Pilihan 1 Fakultas pertambangan ITB Pilihan 2 Fisika UNAIR. Setelah SPMB ikut tes UMPENS bersama teman seperjuangan. Apadaya kemampuan tak sampai menggapai ITB, tapi masuk ke fisika. Di waktu yang bersamaan saya dinyatakan lulus untuk program D4 Elektronika ITS yang katanya terfavorit di PENS wakti itu. Dan dengan segala pertimbangan masuk lah saya ke S1 Fisika Airlangga. Disini lah saya serasa digembleng pondasi sebagai pemikir, belajar bukan hanya karena angka-angka tapi karena arti fisis angka tersebut. (Masih jauh dari S1 ke 2 Lagi sabar y kawan… ).
Kesempatan kedua muncul UMPTN 2008, Pil 1 Elektro ITS Pil 2 Pertambangan ITB. Huh… Saya hitung2 skor saya lebih dari cukup untuk masuk di pertambangan bahkan ke Elektro ITS tapi apa daya dua-duanya gak nerima. Dari situ saya mulai memantapkan hati fisika is my life and my destiny. Tak disangka-sangka saat akhir semester 3 awal dapat tawaran dari rekan kerja orang tua untuk ikut kerja di project onshore oil & gas processing. Nguli dah.. gak pa2 walaupun nguli sapa tahu dapat link dadi bos besar nantinya. Amin… Liburan awal semester 4 terisi dengan magang kerja. Disini saya belajar arti sebuah kompetensi. Bayangkan kontraktor yang membangun hanya memperkerjakan 1 engineer dan hamper ada 50 orang semuanya tamatan STM/SMA. Kata mereka buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau kerja pun tak bisa. Dlam hati ingin saya balik pertanyaan ke mereka, anda yang gak sekolah tinggi aj bisa apalagi yang sekolah Pak y!?
Di project ini saya banyak belajar dari Pak Heru, Kalibrator Instrument, juga dari Pak Puji, bos besar senior instrument engineer SANTOS Pty. Ltd. Saya disemangati bahwa semua orang sama, makan nasi atau kentang, bule sama manusianya. Jadi kita pasti punya kemampuan seperti mereka, bahkan bisa melebihi. Jangan mau kalah. “Siap Pak”, insyaAllah saya bisa mewujudkannya. Saya mulai belajar membaca drawing instrument, membaca-baca buku industrial control yang notebene tak terlalu saya akrabi walaupun diajarkan di Airlangga. Dan akhirnya saya memutuskan saya ingin bisa dan jadi Instrument Engineer. Sampai akhir project tuntas, Alhamdulillah, saya sudah dapat gambaran dan ilmu walaupun sedikit.
Tahun 2009, UMPTN berganti SNMPTN dan adik saya sudah waktunya untuk masuk perguruan tinggi. Desakan orang tua sekalian lah ikut ujian. Saya yang sudah tak berniat dan tak berminat hanya membeli formulir tanpa tahu ingin mengisi. Akhirnya adik saya mengisikan elektro UI dan system informasi ITS. UI adalah saya yang memilih karena alasan pribadi. Ketika akan mengembalikan formulir, peristiwa menarik terjadi, satu-satunya wanita yang saya inginkan jadi pendamping sampai di syurga memergoki saya mengisi UI digantinya lah dengan Elektro ITS. Saya pun berkelakar, tak mungkin masuk-masuk pun pasti gak tak masuki. Wow, saat pengumuman saya tak menghiraukan. Adik saya berteriak,” Mas.. Mas.. Sampean masuk elektro ITS”. Hah… Ujian hanya bondo datang, gak pakek belajar. Orang tua bilang sudah daftar saja sana…. Oh mam… Saya ingin selesaikan apa yang saya mulai. Fisikaku belum kelar. Akhirnya daftar lah S1 Teknik Elektro ITS yang penuh dengan orang-orang yang katanya pintar-pintar dan saya akui memang pintar.
Petualangan kuliah dobel pun dimulai, atur sks biar gak tabrakan. Ngatur waktu toleransi agar ke ITS dan ke UNAIR cukup. Cukup kalang kabut sampai IPK saya turun dari biasanya. Sampai awal semester 4 kalau gak 5 di ITS saya mengajukan cuti untuk mengerjakan skripsi di ITS. Sebenarnya diam-diam saya punya rencana. Ah nanti kalau ijasah sudah ditangan cari kerja ah capek kuliah. Siapa tahu dapat perusahaan bonafit, Elektro tinggalin aje… Sambil ngerjakan skripsi, kosentrasi full di fisika Airlangga dan Alhamdulillah Allah memudahkan jalan.. IPK cukup untuk kelulusan dan semua lancar sampai wisuda. Bahkan sebelum wisuda dapat kesempatan kerja di project Wortel Platform. Tempat anjungan untuk pengeboran minyak di selat Madura. Disini saya bertemu teman lama bahkan Guru Lama, Pak Puji, Pak Slamet, dan beberapa yang baru Pak Nugroho dari Elektro UI, Pak Husni dari TEKFIS ITS. Mulai lah goresan baru di otak.. Satu lagi Bapak yang belum saya sebutkan Pak Nurcholis Senior Electrical Engineer dari SANTOS Pty. Ltd. Dekade ini lah pikiran saya berubah yang awalnya ingin meninggalkan elektro menjadi kembali.
Saat di project semua berpikir dan menggunakan semua kemampuannya termasuk daya analisis teknikalnya. Yang kuli mikir cara kuri. Yang engineer mikir cara engineer dong.. Di project saya belajar bagaimana project ini cepat selesai, bukan bagaimana cara birokrasi agar benar dan selesai, bukan berdebat dan saling salah-menyalahkan saat ada masalah. Kejadian yang benar-benar merubah pikiran saya dari kuli ingin menjadi engineer adalah saat pekerja segolongan saya (walaupun golongan saya lebih tinggi dikit wkwkwkwkw) tak dapat bekerja karena tak ada kalender masuk hari itu di kontrak kerja senior engineer dengan lantang berani manjawab.”Masuk saja, saya yang berani bertanggung jawab masalah uangnya pokoknya kerjaan ini beres.” Tanpa kemampuan leadership, tanpa kemapanan financial, tanpa kemampuan teknikal dibidangnya, dengan tahu mana yang harus cepat dikerjakan, membedakan seorang engineer sejati dengan para tukang. Pikiran saya langsung tersentak, saya ingin kembali ke cita-cita saya dlu ke pertambangan/perminyakan jadi engineer sejati bukan jadi sok engineer.
Saya mencari informasi mana yang bisa saya pelajari lebih dalam di ITS. Saya masih tercatat mahasiswa elektro ITS. Jika belajar instrumentasi, lebih baik ke tekfis ITS karena memang mereka bidangnya. Jika memilih SP saya tak mapan hati karena selain mengulang pelajaran yang pernah saya dapat dan mungkin suatu saat kebosanan dan kesombongan diri bisa menghancurkan keilmuan dan semangat saya dalam menimba ilmu. Dan akhirnya saya memutuskan, saya masuk Power Engineering saja. Hal baru bagi saya, tantangan dan semoga khusnul khotimah. Lulus dan segera berkarya untuk negeri. Mewujudkan cita-cita jika sukses kelak akan membangun sekolah untuk pemimpin bangsa Indonesia.
Untuk S2, sebenarnya saat bekerja dan setelah lulus dari Airlangga saya mendaftar manajemen proyek di ITS agar umur tak terlalu tua saat lulus nanti. Tapi takdir tak mengizinkan kelas saya tak ada dan dialihkan ke manajemen industry dan saya memutuskan tak hadir saat ujian. Saat proses pendaftaran, saya mencari alasan mengapa kebanyakan orang harus melanjutkan S2, apa yang saya mau dan saya dapatkan dari S2? Salah seorang Bu dosen saya memberikan pencarahaan, saat kamu ingin jadi dosen atau peneliti atau akademisi pilih lah S2 tapi saat kamu hanya ingin bekerja ambil lah S2 Manajemen atau yang non linear dengan studimu. Sudah saya jelaskan di atas bahwa saya ingin jadi engineer sejati yang bisa berkarya untuk negeri sehingga kemampuan, skill lah yang saya butuh kan. Dan yang paling penting sebenarnya saya tak ingin membebani orang tua, jikalau S2 sudah saya tekankan di hati itu beasiswa atau dari benar-benar kantong saya sendiri.
Keren banget yak,,sek eleng aku ra?
ReplyDeleteSelamat berkunjung mas.. Y Masih lah... Bagaimana kabar sampean?
ReplyDelete